Minggu, 19 Oktober 2014

Antara Menikmati dan Memahami Seni Lukis







Menikmati lukisan tidak sama dengan memahami lukisan. Sebagian orang, bisa begitu terpesona saat melihat sebuah lukisan lalu kemudian spontan juga ingin memilikinya. Namun ketika ditanya kenapa ia tertarik, ia tidak bisa menjelaskannya. Bila dipaksa untuk menjawab, jawabannya bisa berkisar antara suka dan tidak suka, senang dan tidak senang. Tetapi pada sebagian orang, justru ia bisa menjelaskan secara rinci dan logis kenapa ia tertarik pada sebuah lukisan, terlepas apakah ia ingin memilikinya atau tidak. Dalam prakteknya, tidak jarang kedua hal ini bercampur baur. Seseorang bisa mengaku, bahkan bersikukuh, sangat mengerti terhadap lukisan. Namun bila dicermati, apa yang ia jelaskan sebagai mengerti (memahami), pada intinya tidak lebih dari tindakan menikmati, dan begitu juga sebaliknya.

 




Menikmati Lukisan

Steppen C. Pepper, dalam bukunya The Principles of Appreciation (dalam Dharsono Sony Kartika), menjelaskan bahwa ada empat tingkat rasa ketertarikan seseorang dalam hubungannya dengan karya seni. Pertama adalah tingkat subjektif, yaitu rasa ketertarikan yang muncul karena pengaruh hubungan emosional seseorang dengan seniman pencipta karya seni. “Saya senang dengan lukisan ini karena dilukis oleh si Anu”. Kedua tingkat kultur. Rasa ketertarikan dipengaruhi oleh latar budaya yang dianut atau tempat tinggal seseorang. “Saya menyukai lukisan tersebut karena objeknya pemandangan (budaya) daerah Anu”. Ketiga, tingkat biological, yaitu rasa ketertarikan yang muncul secara refleks setelah mengamati sebuah lukisan. Meskipun bukan lagi karena pengaruh dari luar, sudah bersifat intrinsik, namun si penikmat tidak bisa menjelaskan kenapa ia menyukainya. “Pokoknya saya suka dengan lukisan ini”. Keempat, tingkat Absolut, yaitu rasa ketertarikan yang dipengaruhi oleh suatu pendapat atau keyakinan tertentu. Misalnya ada pendapat yang sudah umum diyakini: “Lukisan itu adalah indah”. Karena meyakini pernyataan ini, maka tanpa harus berusaha untuk memahaminya, secara refleks seseorang akan langsung menyukai sebuah lukisan. 




Inti pandangan Pepper menggambarkan bahwa demikianlah pengaruh aspek psikologis terhadap karya seni. Yang terjadi adalah interaksi emosional seseorang dengan apa yang dilihatnya. Tidak soal apakah rasa tertarik itu murni muncul dari dalam diri atau disebabkan oleh faktor lain di luar dirinya, namun intinya seseorang tertarik karena ada hubungan pribadi antara dirinya dengan yang diamati. Tertarik karena pelukisnya, pilihan objeknya, atau merasa terharu dan terpesona, misalnya, merupakan bentuk respon emosional seseorang terhadap lukisan. Bahkan, lebih jauh, seseorang bisa tersenyum, tertawa, sedih bahkan menangis di depan sebuah lukisan. Inilah yang dikenal dengan teori pemancaran diri dari F. T. Vischer (The Liang Gie, 1976:54), dimana perasaan seseorang begitu jauh terlibat bahkan hanyut saat berhadapan dengan sebuah karya seni. Namun ketika ditanya kenapa itu terjadi, jawabannya bisa karena figur yang digambarkan mengingatkannya pada seseorang yang pernah menyakiti hatinya, atau karena suasana yang digambarkan telah membangkitkan gairah hidupnya yang pernah ia alami pada masa lalu. Meskipun efeknya berasal dari melihat lukisan, namun jawaban yang diberikan tetap berkisar tentang reaksi dirinya, atau hubungan anatra dirinya dengan lukisan, bukan tentang lukisan itu sendiri. Inilah yang diartikan sebagai menikmati, dimana yang melihat hanya terserap secara emosional pada objek yang dilihatnya, tetapi tidak mengerti apalagi bisa menjelaskan tentang apa yang dilihatnya.

Memahami Lukisan

Berbeda dengan menikmati, memahami lukisan justru bukan dengan melibatkan unsur psikologis (emosional). Jika pada menikmati seseorang bisa saja merasa lebur, terserap bahkan hanyut secara kejiwaan saat melihat sebuah lukisan, maka pada memahami, seseorang harus dalam keadaan sadar (diri). Harus ada jarak antara dirinya sebagai pengamat dengan lukisan sebagai objek yang diamati. Seperti dikatakan Edward Bullough (1800-1934), seseorang harus membebaskan diri dari segala pengaruh ketika akan memahami sebuah karya seni, karena keterlibatan emosional akan menyebabkan penilaiannya menjadi sekedar pembenaran dari kecendrungan pribadi. Karena itu penjelasan menyukai sebuah lukisan karena tertarik dengan pilihan objeknya, atau karena merasa terharu saat melihatnya, misalnya, bukan merupakan ungkapan dari sebuah pemahaman.

Memahami, lebih melibatkan sisi intelektual ketimbang emosional. Karena dalam prakteknya, memahami juga berarti memberikan apresiasi, dimana seseorang akan menafsirkan dan memberikan penilaian terhadap lukisan, hal ini juga berarti seseorang akan melakukan penalaran, dan ini tidak mungkin dilakukan dengan melibatkan emosi, melainkan harus dengan menggunkan logika dan argumentasi, sehingga sebuah pemahaman bisa dijabarkan secara meyakinkan dan bisa dipertanggung-jawabkan. Seseorang yang menyatakan bahwa sebuah lukisan sangat menarik karena objek dan warna yang digambarkan mengingatkannya pada suatu pengalaman tertentu, misalnya, bukanlah suatu penjelasan yang logis dan meyakinkan, tetapi merupakan penjelasan emosional, karena dasar penjelasannya masih hubungan antara pengalaman pribadi dengan unsur yang ada pada lukisan.

Karena yang dijelaskan bukanlah tentang respon psikis dari yang mengamati, melainkan adalah tentang karya itu sendiri, maka dalam memahami akan membutuhkan wawasan seni sebagai dasar untuk melakukan pemahaman. Paling tidak, diperlukan empat pengetahuan dasar untuk memahami sebuah lukisan. Pertama, pengetahuan akan unsur-unsur seni rupa, yaitu pengetahuan tentang garis, bidang, bentuk, tekstur, gelap terang dan warna. Semua unsur inilah yang membentuk sebuah lukisan. Sebuah lukisan akan bisa dinilai berdasarkan hal ini, yaitu bagaimana kesan, efek dan kualitas dari setiap unsur yang digambarkan. Kedua, penataan unsur-unsur seni rupa. Ini juga disebut dengan istilah komposisi, yaitu bagaimana pengaturan dan pengkombinasian semua unsur seni rupa. Dengan mengetahui hal ini, misalnya, akan bisa dinilai bagaimana komposisi bidang, warna dan apa yang menjadi pusat perhatian pada sebuah lukisan. Ketiga, aspek teknis dalam melukis, yaitu pengetahuan tentang alat, bahan dan teknik-teknik dalam melukis, sehingga sebuah lukisan bisa dinilai kualitasnya dari segi material sekaligus ketahanannya. Keempat, semiotika, yaitu pengetahuan tentang tanda dan simbol. Prinsip dasar dari kajian ini adalah bahwa setiap unsur seni rupa pada sebuah lukisan merupakan simbol dari makna tertentu, sehingga dengan menggunakan pengetahuan ini, akan bisa ditafsirkan apa kemungkinan makna yang tersirat dibalik sebuah lukisan.

***

 


Demikianlah antara menikmati dan memahami lukisan. Dalam prakteknya, tidak mudah memang untuk dipisahkan secara tegas, karena tidak tertutup kemungkinan yang satu bisa mempengaruhi yang lainnya. Kepekaan seseorang dalam menikmati lukisan, misalnya, pada akhirnya bisa dijadikan faktor pendukung dalam meningkatkan pemahaman agar lebih utuh dan mendalam. Begitu juga sebalikanya, pemahaman seseorang akan lukisan akan bisa memicu dan menambah kepekaannya dalam menikmati lukisan. Dengan catatan, yang bersangkutan bisa menjaga dan menukar keterlibataannya secara sadar di wilayah mana ia akan berada. Karena meskipun bisa saling mempengaruhi, keduanya tetap memiliki sifat, cara kerja dan manfaat yang berbeda: menikmati adalah untuk merasakan lezatnya sebuah lukisan, sedangkan memahami untuk mengerti kenapa lukisan itu enak dilihat.

Erianto Anas / matarupa.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar