Masa kecil
Raden Saleh dilahirkan dalam sebuah
keluarga Jawa ningrat . Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin
Jahja, seorang keturunan Arab. Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, tinggal
di daerah Terboyo, dekat Semarang. Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu
bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School)
Terkesan dengan bakat luar biasa anak
didiknya, Payen – pelukis berkebangsaan Belanda, mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke
Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen
yang memerintah waktu itu (1819 - 1826) setelah ia melihat karya Raden Saleh.
Belajar ke Eropa
Dua tahun pertama di Eropa ia pakai
untuk memperdalam bahasa Belanda dan belajar teknik mencetak menggunakan batu.
Sedangkan soal melukis, selama lima tahun pertama, ia belajar melukis potret
dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari Andries Schelfhout karena
karya mereka memenuhi selera dan mutu rasa seni orang Belanda saat itu.
Krusseman adalah pelukis istana yang kerap menerima pesanan pemerintah Belanda
dan keluarga kerajaan.
Saat pemerintahan Raja Willem II
(1792-1849) ia mendapat dukungan menambah ilmu pengetahuan. Beberapa tahun
kemudian ia dikirim ke luar negeri untuk menambah ilmu, misalnya Dresden,
Jerman. Di sini ia tinggal selama lima tahun dengan status tamu kehormatan
Kerajaan Jerman, dan diteruskan ke Weimar, Jerman (1843). Ia kembali ke Belanda
tahun 1844. Selanjutnya ia menjadi pelukis istana kerajaan Belanda.
Saat di Eropa, ia menjadi saksi mata
revolusi Februari 1848 di Paris, yang mau tak mau memengaruhi dirinya. Dari
Perancis ia bersama pelukis Prancis kenamaan, Horace Vernet, ke Aljajair untuk
tinggal selama beberapa bulan pada tahun 1846. Di kawasan inilah lahir ilham
untuk melukis kehidupan satwa di padang pasir. Pengamatannya itu membuahkan
sejumlah lukisan perkelahian satwa buas dalam bentuk pigura-pigura besar.
Negeri lain yang ia kunjungi: Austria dan Italia. Pengembaraan di Eropa
berakhir tahun 1851 ketika ia pulang ke Hindia bersama istrinya, wanita Belanda
yang kaya raya.
Kembali ke Hindia Belanda (Indonesia)
Saleh kembali ke Hindia Belanda pada
1852 setelah 20 tahun menetap di Eropa. Dia bekerja sebagai konservator lukisan
pemerintahan kolonial dan mengerjakan sejumlah portret untuk keluarga kerajaan
Jawa, sambil terus melukis pemandangan. Pada 1867, Raden Saleh menikahi gadis
keluarga ningrat keturunan Kraton Yogyakarta bernama Raden Ayu Danudirja dan
pindah ke Bogor, dimana ia menyewa sebuah rumah dekat Kebun Raya Bogor yang
berpemandangan Gunung Salak. Di kemudian hari, Saleh membawa istrinya
berjalan-jalan ke Eropa, mengunjungi negeri-negeri seperti Belanda, Prancis,
Jerman, dan Italia.
Kematian
Pada Jum'at pagi 23 April 1880, Saleh
tiba-tiba jatuh sakit. Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa aliran darahnya
terhambat karena pengendapan yang terjadi dekat jatungnya. Ia dikuburkan dua
hari kemudian di Kampung Empang, Bogor
Lukisan
Tokoh romantisme Delacroix dinilai
memengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang jelas menampilkan keyakinan
romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal abad 19, Raden Saleh
tinggal dan berkarya di Perancis (1844 - 1851)
Ciri romantisme muncul dalam
lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks. Gambaran keagungan
sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus ketidakpastian
takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Perancis
Gerricault (1791-1824)dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang
mencekam, lukisan kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis
antara hidup dan mati.
Lukisan-lukisannya yang dengan jelas
menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden Saleh seorang romantisis. Konon,
melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain.
Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Raden_Saleh)
2. AFFANDI (1907 - 1990)
Affandi
dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907 putra dari R. Koesoema,
seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi
pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup
tinggi. HIS, MULO dan selanjutnya tamat dari AMS.
Sebelum
mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai
tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung
bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih
tertarik pada bidang seni lukis.
Sekitar
tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung yaitu kelompok
lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso
dan Wahidi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan
kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni
rupa di Indonesia.
Pada
tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung
Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di
Indonesia.
Suatu
saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan,
India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba
di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan
pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya
digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
.
Affandi dan melukis
Semasa
hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis. Karya-karyanya
yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik di Asia, Eropa, Amerika
maupun Australia selalu memukau pecinta seni lukis dunia. Dalam perjalanannya
berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapore
tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran
ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit
dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni
lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang
menambah daya tariknya.
Kesederhanaan
cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung sendiri
ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi
Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran
ekspresionisme. Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang
lapar.
Sampai
ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai pelukis.
Kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dimakamkan tidak jauh dari
museum yang didirikannya itu.
Museum Affandi
Museum
yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu
dalam sejarahnya telah pernah dikunjungi oleh Mantan Presiden Soeharto
dan Mantan Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad pada Juni 1988 kala
keduanya masih berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang
menjadi tempat tinggalnya.
Saat
ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan
300-an di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya
restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga
selesai, sehingga tidak dijual.
Sedangkan
galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang
sudah meninggal seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli,
Fajar Sidik dan lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga
Affandi.
.
Affandi di mata dunia
Affandi
memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis besar
lainnya seperti Raden Saleh, Basuki Abdullah dan lain-lain. Namun karena
berbagai kelebihan dan keistimewaan karya-karyanya, para pengagumnya sampai
menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan membanggakan antara lain seperti
julukan Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia bahkan julukan Maestro. Adalah
Koran International Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis
Ekspressionis Baru Indonesia, sementara di Florence, Italia dia telah
diberi gelar Grand Maestro.
Berbagai
penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri perjalanan hidup dari pria yang hampir
seluruh hidupnya tercurah pada dunia seni lukis ini. Di antaranya, pada tahun
1977 ia mendapat Hadiah Perdamaian dari International Dag Hammershjoeld. Bahkan
Komite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano,
Florence, Italia pun mengangkatnya menjadi anggota Akademi Hak-Hak Azasi
Manusia.
Dari
dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterimanya, di
antaranya, penghargaan "Bintang Jasa Utama" yang dianugrahkan
Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978. Dan sejak 1986 ia juga diangkat
menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di
Yogyakarta
(http://id.wikipedia.org/wiki/affandi) 3. BASUKI ABDULLAH (1915 - 1993)
Basuki Abdullah lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 Januari 1915, – meninggal 5 November 1993 pada umur 78
tahun) adalah salah seorang maestro pelukis Indonesia. Ia
dikenal sebagai pelukis aliran realis dan naturalis. Ia pernah diangkat menjadi
pelukis resmi Istana Merdeka Jakarta dan
karya-karyanya menghiasi istana-istana negara dan kepresidenan
Indonesia, disamping menjadi barang koleksi dari berbagai penjuru dunia.
Masa muda
Bakat
melukisnya terwarisi dari ayahnya, Abdullah Suriosubroto, yang juga
seorang
pelukis dan penari. Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan
Kebangkitan Nasional Indonesia pada awal tahun 1900-an yaitu Doktor
Wahidin Sudirohusodo Sejak umur 4 tahun Basuki
Abdullah mulai gemar melukis beberapa tokoh terkenal diantaranya
Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus Kristus dan Krisnamurti.
Pendidikan formal Basuki Abdullah diperoleh di HIS Katolik dan Mulo Katolik
di Solo. Berkat
bantuan Pastur Koch SJ, Basuki Abdullah pada tahun 1933 memperoleh beasiswa
untuk belajar di Akademik Seni Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten) di Den Haag, Belanda, dan
menyelesaikan studinya dalam waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat
Royal International of Art (RIA).
Aktivitas
Pada masa Pemerintahan Jepang, Basuki Abdullah bergabung dalam Gerakan Poetra atau
Pusat Tenaga Rakyat yang dibentuk pada tanggal 19 Maret 1943. Di dalam Gerakan
Poetra ini Basuki Abdullah mendapat tugas mengajar seni lukis. Murid-muridnya
antara lain Kusnadi (pelukis dan kritikus seni rupa Indonesia) dan Zaini
(pelukis impresionisme). Selain organisasi Poetra, Basuki Abdullah juga aktif
dalam Keimin Bunka Sidhosjo (sebuah Pusat Kebudayaan milik pemerintah
Jepang) bersama-sama Affandi, S.Sudjoyono, Otto Djaya dan Basuki Resobawo.
Di masa revolusi Bosoeki Abdullah tidak berada di tanah air yang sampai
sekarang belum jelas apa yang melatarbelakangi hal tersebut. Jelasnya pada
tanggal 6 September 1948 bertempat di Belanda Amsterdam
sewaktu penobatan Ratu Yuliana dimana diadakan sayembara melukis, Basuki
Abdullah berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan berhasil
keluar sebagai pemenang.
Lukisan "Balinese Beauty" karya Basuki Abdullah
yang terjual di tempat pelelangan Christie's di
Singapura pada tahun 1996.
Sejak itu pula dunia mulai mengenal Basuki Abdullah, putera Indonesia
yang mengharumkan nama Indonesia. Selama di negeri Belanda Basuki
Abdullah sering kali berkeliling Eropa dan berkesempatan pula memperdalam seni lukis dengan
menjelajahi
Italia dan
Perancis dimana banyak bermukim para pelukis dengan reputasi dunia.
Basuki Abdullah terkenal sebagai seorang pelukis potret, terutama melukis
wanita-wanita cantik, keluarga kerajaan dan kepala negara yang cenderung
mempercantik atau memperindah seseorang ketimbang wajah aslinya. Selain sebagai
pelukis potret yang ulung, diapun melukis pemandangan alam, fauna, flora,
tema-tema perjuangan, pembangunan dan sebagainya.
Basuki
Abdullah banyak mengadakan pameran tunggal baik di dalam negeri
maupun di luar negeri, antara lain karyanya pernah dipamerkan di
Bangkok (Thailand), Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Portugal dan
negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang memiliki karya lukisan
Basuki
Abdullah. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri diantaranya
beberapa tahun menetap di Thailand dan diangkat sebagai pelukis Istana
Merdeka dan sejak tahun 1974 Basuki Abdullah menetap di Jakarta.
http://id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Abdullah
4. DULLAH
5. S. SUDJOJONO
6. SRIHADI
7. POPO ISKANDAR
8. HENDRA GUNAWAN
9. ADPIROUS
10. JOKO PEKIK
11. ACHMAD SADALI
11. RUSTAMADJI
12. JEIHAN SUKAMANTO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar